Gaya banget ya judulnya, haha. Setidaknya itulah yang baru terlintas saat ini, ntar ane ganti deh kalo ada yg lebih elegan dikit :p. Sebenarnya ga ada pengangkatan khusus untuk posisi ini, tapi keadaan yang membuat ane berinisiatif mengambil alih peran ini. Sobat ga harus nunggu kapal tenggelam baru berusaha menambal kebocoran kan?
Apalagi, background pendidikan ane bukanlah di finance. Cuma bermodalkan “ketertarikan” di bidang financial planning. Yang ane ketahui di bidang financial planning pun cuma sedikit. Tahapannya kira-kira antara lain menentukan tujuan finansial, audit (pembiasaan pencatatan keuangan dan kategorikan), analisa dan kenali karakter kita. Kemudian dari data-data & angka yang sudah ada kita bisa melakukan budgetting untuk mengendalikan pengeluaran dan bila perlu kita tambah pilar-pilar pemasukan.
Nah, dari pengetahuan dasar itulah ane mulai action. Jadi yaa, siapa takut? :d
Untuk menentukan tujuan di awal, ternyata ga semudah kalo kita merencanakan keuangan untuk diri pribadi. Karena usaha sudah berjalan namun dengan pencatatan keuangan yang minim, maka di awal ini perlu pencatatan keuangan dengan indikator yang paling sederhana. Dan itu pun ga bisa dilihat dari catatan yang cuma 2 minggu atau sebulan (walaupun dari situasi kemarin harus dipersempit jadi sebulan).
Kenapa? karena sudah umum bahwa untuk menganalisa kita perlu sejumlah data, rata-rata & trend nya.
Dari situ ane baru bisa tau harus diapain nih duit yang ada. Dari data yang cuma sebulan, mulai buat perencanaan sambil monitoring eksekusinya. Bulan ke-2 dan ke-3 buat validasi, kalo ada deviasi error baru evaluasi. Karena batasan masalahnya hanya pada keuangan, jadi sisa waktu yang ada ane gunakan buat upgrade pengetahuan yang lain.
Salah satunya ada di laporan keuangan, tentunya beda dong laporan keuangan pribadi sama laporan keuangan perusahaan. Strategi awal ane pun sederhana, meliputi mencari investor, refinancing dan menjadi debitur di lembaga pembiayaan. Dari perencanaan ini, maka kita perlu tau seberapa besar sih nominal pinjaman yang bisa kita ajukan dan berapa besar cicilan yang bisa kita bayarkan. Untuk itu, perlu belajar tentang menyiapkan laporan keuangan yang “bankable”. Selain itu, ane rajin mempelajari info mengenai sistem kerjasama bagi hasil dan mencari info mengenai produk pembiayaan dari beberapa lembaga keuangan.
Untunglah Allah mengumpulkan ane bersama komunitas TDA. TDA Jakarta Timur saat itu mengadakan workshop “Membuat Laporan Keuangan” yang investasinya sangat amat terjangkau. Terima kasih TDA. Tulisan tentang workshop ini menyusul ya.
TDA Depok juga pas banget ada kelompok mentoring bisnis. Dibarengin workshop series Business Coaching dari Vanaya Institute, kita bisa langsung learning by doing juga. Sayangnya fokus ane mengatasi permasalahan di bidang finance baru akan di bahas di workshop sesi ke 4. Tapi tetep asyik sih, mulai dari sesi serius tapi santai, haha-hihi sampe curcol abis bisa tercurahkan di kelompok ini.
Kekurangannya, soal pembiayaan masih kurang info yang bisa ane dapatkan di TDA. Dari awal ane mentargetkan KUR hingga tembus itu akhirnya justru dari usaha sendiri. Seperti ada kegagalan fungsi komunitas sebagai penghubung upaya penyaluran dana pemerintah kepada penggiat usaha kecil dan menengah. Atau memang pemerintah, melalui Badan Usaha miliknya, tidak melibatkan komunitas sebagai langkah strategisnya? entahlah. Tulisan atau curhatan ane tentang wara-wiri mencari info pembiayaan ini juga menyusul (tambah banyak dah hutang tulisannya).
Nah, mungkin ada yang nanya, “Lo ngerasa jadi manager keuangan emang tau job desk, kewenangan & konsep manajemen keuangannya?”
Bagi praktisi, mungkin hal ini ga penting, Begitu juga ane ga ambil pusing mengenai hal ini waktu langsung “nyebur”, learning by doing istilahnya. Tapi demi rasa penasaran apa yang ane lakukan itu udah bener atau belum, jadi ane cari tahu deh. By googling tentunya, hohoho.
Tapi karena ane udah kecapean ngetiknya, jadi cerita pengalamannya lanjut disini ya.